Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Desa: Langkah Maju Desa dalam Penataan Ruang
Rabu, 2 Oktober 2019
6 Desa di Mahakam Tengah mengadakan pertemuan yang di fasilitasi oleh Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara . Enam Desa tersebut adalah desa Muhuran, Sebelimbingan, Teluk Muda, Tuana Tuha, Genting Tanah dan Muara Siran. Pertemuan tersebut dilakukan di ruang Rapat Kartanegara Lantai 2, kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda). Diskusi ini bertujuan untuk memperoleh informasi terkait kesesuaian ruang kabupaten dengan tata ruang desa yang telah disusun oleh desa dan disahkan lewat peraturan desa tentang Rencana Tata Ruang Desa (RTRWDes). Nantinya RTRW Desa yang telah disusun dapat dijadikan acuan dalam pembangunan desa.
Diskusi tersebut melibatkan Kelompok Kerja (Pokja) Perencanaan Tata Ruang, Kesekretariatan Kabupaten Kutai Kartanegara dan pemerintah, masyarakat desa dan pendamping Yayasan Bumi. Kegiatan di mulai dengan acuan kebijakan terkait dengan tata ruang yang bersumber dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, selain itu juga mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Yayasan Bumi dalam kesempatan ini menjelaskan bahwa advokasi terkait kebijakan tata ruang desa dilakukan dengan asas keterbukaan dan pelibatan semua pihak Persetujuan di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA). Tata ruang desa dianggap perlu, hal ini dikarenakan selain menjalankan amanat dari undang-undang yang ada (Penataan Ruang dan Desa), juga sebagai sarana bagi masyarakat desa untuk mengembangkan serta membangun desa sesuai kondisi, potensi, keberlanjutan lingkungan serta kelestarian desa untuk menjaga kearifan lokal yang ada.
Meskipun idealnya kebijakan itu sebagaimana diungkapkan Riant Nugroho dalam Public Policy bahwa tujuan dari kebijakan itu untuk membebaskan, membesarkan, dan menghebatkan rakyat Indonesia, namun tentu hal tersebut tidak berjalan linier (garis lurus), ada banyak lika-liku untuk mencapai hal tersebut.
Langkah desa mengatur ruangnya untuk acuan pembangunan desa dianggap langkah maju, dimana sampai saat ini belum ada aturan teknis dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang terkait mengatur skala peta ditingkat desa, karena acuan skala peta hanya mengatur di lingkup nasional, provinsi dan kabupaten. Padahal dalam undang – undang desa nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, tata ruang menjadi bagian dari pembangunan Kawasan pedesaan dan menjadi sepenuhnya wewenang desa dan dilakukan secara partisipatif.
Jika mau dikaitkan dengan kajian kebijakan publik, persoalan tata ruang desa ini mengerucut terhadap produk kebijakan yang tercermin di Indonesia. Riant Nugroho (Hal 125, 2017) menyebutkan pola kebijakan di Indonesia masih mencerminkan kebijakan yang diwariskan Belanda yang bercirikan sistem kontinentalis yakni sebuah produk kebijakan yang tidak lengkap, perlu kebijakan penjelas dan pelaksana –makro, messo, mikro- , dan kebijakan eksekutif adalah kebijakan turunan ini tercermin kebijakan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, apa dampak dari pola yang seperti itu adalah produk kebijakan akan menurunkan dari kebijakan diatasnya (hierarki), sehingga untuk melengkapi sebuah kebijakan harus ada turunan kebijakan dari nasional, provinsi, kabupaten hingga desa. Padahal, jika kita mengintisarikan makna kebijakan publik tersebut bertujuan untuk menggerakan, maka wajarnya ia bersifat mendinamiskan, mengantisipasi dan memberikan ruang bagi inovasi, termasuk inovasi desa dalam membentuk tata ruang desa. (R)