[M3Machine #6] Qou Vadis Batu Bara: Antara Moraturium, Clean and Clear (CnC) dan Perijinan Pertambangan dalam RTRWP di Kalimantan Timur
Selasa (13/6) 2017, diselenggarakan kembali seri diskusi pubik M3MACHINE #6 oleh Yayasan Bumi. Diskusi publik ini bertempat di hotel Aston, kota Samarinda. Tema yang diangkat saat diskusi publik tersebut berkaitan dengan moraturium Cnc dan perijinan pertambangan yakni “Quo vadis Batu Bara: antara moraturium Clean and Clear dan perijinan pertambangan dalam RTRWP di Kalimantan Timur”. Kali ini diskusinya dengan suasana yang berbeda, karena bertepatan dengan bulan puasa (syawal).
M3MACHINE #6 kali ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, dari pemerintah, politisi, organisasi non pemerintahan (Ornop), media/reporter, mahasiswa, akademisi serta pejuang lingkungan .
Pada prinsipnya M3MACHINE #6 kali ini bertujuan pertama untuk memperoleh pandangan dari para pihak terhadap komoditi pertambangan batu-bara di Kaltim, kedua berkenaan dengan perbaikan tatakelola perizinan termasuk Cnc, ketiga berkaitan dengan moraturium perizinan serta tidak ada izin pertambangan baru berdasarkan Perda RTRW Kaltim.
“Program CnC di mulai dari tahun 2011,namun pada tahun 2014 dari kementerian ESDM baru memproses kurang lebih dari 11 ribu Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang baru CnC sekitar 6.000 dan di Kaltim status sebanyak 700 CnC di Kaltim pada tahun 2014” ungkap Markus dari Dinas ESDM Prov. Kaltim saat memulai pendiskusian.
Berkaitan dengan izin usaha, pada dasarnya pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang tata cara evaluasi IUP, “Pemerintah Pusat telah menerbitkan Peraturan Menteri nomor 43 tahun 2015 yang terbit sekitar tanggal 31 Desember tentang tatacara evaluasi IUP, IUP yang diserahkan Kabupaten/Kota termasuk IUP yang CNC dan non CNC di evaluasi oleh Pemerintah Provinsi, di dalam permen 43 tersebut ada batasan waktu, dimana setalah penyerahan kabupaten kota, mulai dari tanggal terhitung batas terakhir adalah oktober 2015” tambahnya.
Meski telah terdapat upaya untuk mencari solusi atas permasalahan izin usaha pertambangan, dengan memperuat aturan izin dengan penetapan status CnC agar perusahaan tidak memperburuk kerusakan lingkungan di Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mempunyai sikap yang berbeda atas permasalahan tambang tersebut;
“Berbicara mengenai Quo vadis atau mau dibawa kemana tambang, JATAM Kaltim lebih menyebut dengan “Stop Batubara!”, berbicara pada penundaan evaluasi IUP persoalaanya adalah jatam melihat ada kekuatan di luar hukum, ada kekuatan politik yang lebih kuat di lingkungan pemerintah Kaltim, fakta konkritnya adalah ada kasus Gubernur menyatakan ada jenderal yang datang agar IUP-nya diloloskan, agar ijinnya lolos CnC” ungkap salah satu perwakilan JATAM.
Selain disinyali berkaitan dengan kekuatan politik dalam dunia pertambangan, kekuatan kebijakan publik dalam hal melaksanakan aturan administratif JATAM menilai Pemprov Kaltim masih di nilai menutup mata dan sering tidak tahu-menahu untuk mengaskan kepada perusahaan tambang yang belum atau belum jelas status CnC yang menjadi kewajiban atas setiap perusahaan yang telah mendapatkan IUP. Selain itu, permasalahan anak-anak korban lubang tambang yang di nilai belum tuntas.
“Terkait CnC adalah upaya yang paling minimal untuk menilai tambang layak atau tidak secara adminstatif, dalam penilaiannya pun Pemprov Kaltim sering mengatakan tidak menahu dalam proses tersebut, namun Pemprov tidak boleh menutup mata karena provinsi mempunyai kewenangan untuk memeriksa dokumen tersebut, hal tersebut patut dipertanyakan karena ada permasalahan seperti anak meninggal dilubang tambang yang sudah mencapai 28 anak, dan lokasi dari anak meninggal tersebut masuk dalam kawasan IUP yang CnC” tegasnya perwakilan JATAM saat mengakhiri pernyataan permasalahan CnC.
Tidak terlepas dari permasalahan pertambangan yang dirundung Prov. Kaltim yang dikatakan sebagai lumbung energi, penguatan berbentuk peraturan tentu tidak cukup, tanpa disertai dengan pemahaman atas dampak tambang bagi masyarakat. Terlebih dunia tambang selain menyisakan dampak krisis ekologis, juga sarat dengan permasalahan sosial-kebudayaan masyarakat setempat apabila tidak direncanakan serta dipantau dengan maksimal. (R)